Pages

Saturday, January 26, 2008

the freedom of study is a blessing

aku baru aja duduk diruang tengah kos, yang merupakan pusat ngumpulnya anak-anak kos dimalam hari setelah berpetualang seharian dikampus dan didunia masing-masing, ketika anggun, one of my kost-mate, memberikan amplop putih besar kepadaku, disitu tertulis, karmila parakkasi, ahh... kiriman TIME ku datang lagi. langsung kubuka bungkusnya dan kubawa masuk ke kamar, rasanya sangat kehausan ingin segera menyantap sajian berita didalamnya. biasanya aku langsung mencari berita tentang pemilihan umum di US, yang selalu menarik perhatianku tentu saja persaingan super ketat di partai demokrat, hillary clinton dan barack obama. dua-duanya calon pencetak sejarah, jika hillary terpilih sebagai presiden maka dia akan menjadi presiden wanita pertama di negara yang berpenduduk terbesar ketiga didunia, tapi jika ternyata obama yang keluar sebagai pemenang pemilu maka untuk pertama kalinya negara terbesar penyusung demokrasi memiliki presiden afro-amerika. tapi keinginan itu ternyata tertahan ketika aku melihat woody allen, salah satu sutradara favoritku, menjawab 10 pertanyaan dari pembaca TIME. senang sekaligus surprise, karena jarang-jarang aku mengenali tokoh untuk halaman 10 pertanyaan ini, sehingga seringnya halaman ini tidak kubaca.

setelah selesai membaca tentang kebimbangan pemilih wanita afro-amerika, ternyata halaman berikutnya juga sangat menarik, tentang pendidikan bagi perempuan di Afganistan. membaca ini membuatku semakin menyadari betapa jauhnya perbedaan yang dialami oleh perempuan dibelahan dunia yang berbeda. kalau di Amerika Serikat kaum perempuan dihadapkan pada pilihan sulit menentukan presidennya, maka perempuan di Afganistan masih berjuang untuk mendapatkan pendidikan.
tantangan yang mereka hadapi tidak hanya karena negara mereka sering dilanda perang, tapi juga dari segi budaya. penduduk Afganistan sebagian besar adalah muslim, banyak orangtua yang lebih memilih anak perempuannya butuh huruf dibanding jika harus sekolah dan pergi belajar ditempat dimana mereka bisa terlihat oleh lak-laki. di hampir 80% kecamatan, tidak ada anak perempuan yang melanjutkan sekolah sampai ke tingkat secondary high (SMP) dan secara
keseluruhan di Afganistan, hanya ada 10% perempuan yang sekolah sampai mendapat gelar diploma. tidak heran jika diseluruh negara ini prosentase guru perempuan hanya 28 % (TIME, 28/01/08).

daya juang seorang perempuan afgan, lida ahmadyar, 12 tahun, yang tetap pergi ke sekolah setelah saudara perempuannya terbunuh dalam operasi penutupan dan pembakaran sekolah demi alasan keamanan. meskipun tiap hari dia melewati lokasi kakaknya terbunuh, niat untuk belajarnya tidak surut sama sekali. "I am afraid, but I like school because I am learning something and that will make me important. with education, i can save my country".

kondisi dan kesempatan murid perempuan di Indonesia untuk sekolah jauh lebih baik. dari data yang dihimpun oleh UNICEF, ada 81% anak perempuan yang melanjutkan pendidikan ke SMP, dan 69% yang melanjutkan hingga ke SMU. Prosentase anak laki-laki sedikit lebih baik; 83% yang sampai ke SMP dan 73% melanjutkan ke SMU.
tantangan yang dihadapi oleh anak sekolah di indonesia tentu saja berbeda. ketika Ujian Nasional dirasakan sangat menakutkan dan menjatuhkan mental, sehingga tidak sedikit yang memilih untuk mundur, mungkin kita harus sering-sering membaca kisah seperti lida, mengcopy daya juangnya. seharusnya kita mampu melakukan yang lebih baik, mampu menaklukkan UN, mampu belajar lebih baik karena negara kita sudah puluhan tahun terbebas dari perang, peristiwa paling buruk yang dialami oleh sebuah negara.

memang pendidikan di Indonesia masih jauh dari status ok. kualitas pendidikan masih sering menjadi tanda tanya. kurikulum pendidikan yang dirasa semakin tidak up to date, jumlah dan kesejahteraan guru dan tenaga pengajar, masih mahalnya harga buku yang pada tahun 2004 kemarin Bank Dunia menjatuhkan sanksi kepada sejumlah penerbit buku di Indonesia karena dituduh menyelewengkan proyek pengadaan buku Bank Dunia dan untuk itu negara ditagih AS$ 10 juta (Pikiran Rakyat, 30/09/04)., sampai kepada pungutan dan sumbangan liar yang masih berkeliaran disaat pemerintah secara tegas menyatakan pendidikan sampai tingkat SMP (wajib belajar 9 tahun) adalah gratis!
setidaknya bagi sebagian besar dari kita tidak memiliki hambatan dari segi prasarana fisik, tidak. bahkan ketika gedung sekolah roboh karena gempa, atau terkena banjir, masyarakat cukup sigap dengan membangun sekolah darurat, selain itu kita bisa belajar dilapangan, dipinggir sungai, karena kita tidak punya kekhawatiran tentang serangan musuh yang bisa dengan kapan saja menjatuhkan bom molotov. tidak, kita sudah melewati jaman kegelapan itu.

banyak yang harus kita syukuri dari keadaan yang kita miliki sekarang; gedung sekolah, transportasi yg mengantarkan kita kesana, guru, orang tua yang mengijinkan anak perempuannya untuk ke sekolah campur, subdisi pemerintah untuk keluarga yang ekonomi
rendah, beasiswa, keamanan bersekolah. bayangkan jika kita berada disituasi yang sama dengan yang dihadapi oleh lida. mungkin kita tak punya waktu memikirkan untuk sekolah, tapi pikiran dan daya juang kita tersita untuk bagaimana kita bisa mempertahankan rumah, bagaimana menemukan tempat persembunyiaa yang aman, bagaimana mendapatkan makanan ketika sebagian besar pasar telah habis dibom, dan mungkin, bagaiman terlolos dari ancaman menjadi jugun ianfu pihak penjajah.

tidak naik kelas, tidak lulus ujian, tidak punya uang jajan yang cukup, guru yang galak, teman yang suka nyontek, baru diputusin pacar, kesemua itu harusnya tidak menyurutkan semangat
kita untuk sekolah, untuk belajar, karena kita sudah sangat beruntung, memiliki anugerah berupa kebebasan untuk belajar, yang sampai saat ini, sayangnya belum dapat dinikmati oleh setiap orang diseluruh negara.

No comments:

Post a Comment