Pages

Friday, June 26, 2009

menjadi ikhlas

ternyata sangat sangat tidak mudah.
hari ini, sejak pagi, bahkan mata ku pun belum sanggup tuk terbuka, dibombardir oleh sms. terus-terusan dari pengirim yang sama. aku sampai berasa dikejar-kejar tukang kredit perabot rumah tangga seperti di sinetronnya si doel anak sekolah. padahal aku gak beli apa-apa. padahal aku gak ngutang apapun. hanya karena menyanggupi suatu permintaan, hp ku hari ini terus2an berbunyi,
"kapan ngirimnya?"
"bisa sekarang?"
dan pertanyaan2 serupa yang hampir membuatku gila mendengar bunyi hp yang gak mau diam. tidak tahu apa sekarang ini sedang tutup tahun dan semua orang sedang mengerjakan laporan?
bisa sabar gak sih?
pertanyaan ini hampir terucap padanya. tapi lantas kuurungkan niat itu. aku mungkin tidak bisa melihat, tidak bisa mengerti dimana letak urgensinya. karena aku tidak berada di posisinya.

sempat tercetus niat untuk membatalkan saja. toh aku juga punya kewajiban lain: kontrakan, rumah ibu, belum lagi tiket untuk pulang ke makassar lebaran nanti...
tapi kalau semuanya untuk aku sendiri, lalu kapan giliran orang lain?
iya kalau aku masih ingat hal yang satu itu. gimana kalau aku malah tenggelam dengan diriku sendiri?

menjalankan kewajiban aja sudah berat. menjadi orang baik apalagi, gak semudah yang dibayangkan. tapi ada satu yang tricky, ikhlas menjalani semuanya. kalau yang ini aku gak bisa comment. ntah apa ilmunya. kalau ada yang tahu, aku tolong diajari ya.

Monday, June 22, 2009

Final Tunggal Putra Indonesia Super Series 2009: Taufik Hidayat vs Lee Chong Wei

malah mati lampu!!
waaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.......................................................................................................................
dasar PLN gak sopan!!!... katrok katrok.. katrok sekali. 
huuuuuu..... padahal udah ditungguin dari tadi. udah pake mbatalin acara berenang sm mb riza. udah pesan pizza super supreme stuff crust beserta snowy lime dan strawberry milkshake juga buat teman bersorak saat Taufik Hidayat, satu-satunya perwakilan Indonesia yang sampai ke final, bertanding melawan pemain Malaysia, Lee Chong Wei. 

sumpah, baru kali ini aku merasa sungguh muak dengan pemadaman listriknya PLN yang suka tidak tahu waktu. masak ya acara bulutangkis, olahraga kebangaan nasional, partai final, yang bertanding wakil Indonesia yang terakhir, eeeehhhh....  listriknya malah dimatiin. emang kurang kerjaan ni PLN. 

aku jadi marah-marah sendiri. sebel banget pokoknya. pemkot juga ngapain aja sih??!! sekarang sok2an pake bus trans metro, listrik aja yang jadi kebutuhan dasar malah gak becus ngurusnya. huuuhhh... sebel deh. 

akhirnya telp nyokap di makassar, nanyain hasil pertandingan. taufik kalah. pupus sudah. event di negara sendiri, tapi yang menang adalah orang lain. sedih rasanya. 

Friday, June 19, 2009

kamera dan foto burung

minat saya di dunia birdwatching-an tidak sebesar minat saya terhadap fotografi. tapi yang fotografi ini pun tersendat sendat jalannya seperti sepeda tua merk united warna merah saya ketika bannya kempis. alasannya tidak lain dan tidak bukan karena kantong yang lebih sering kempisnya dan gak pernah kembang. 

syukur setelah kantong saya bisa sedikit kembang dan saya bisa nabung, keinginan untuk punya kamera bisa terwujud. kamera digital pocket casio exilim. sayang, baru sebulan saya miliki, kamera itu hilang ditelan resam Tesso Nilo. 

setahun kemudian, setelah nabung lagi, saya bisa memiliki kamera digital baru. specs dan harganya sedikit di atas casio yang kemarin. tapi belum masuk kategori kamera pro. seminat-minatnya saya pada fotografi, masih berat rasanya mengeluarkan duid lebih dari 4 juta rp demi satu unit kamera. yang penting, rencana saya terpenuhi, punya 2 kamera: satu kamera SLR analog (yg masih pake film itu lho..) dan satu lagi kamera digital prosumer.  

kedua-duanya saya coba untuk foto burung di lokasi berbeda. jenis burungnya pun beda. yang dibawah ini, berdasarkan konfirmasi dari senior saya adalah Cucak Kuricang atau Black-headed Bulbul atau Pycnonotus atriceps. 
sedangkan yang ini diambil pake kamera nikon slr analog saya. jarak dengan objeknya memang lebih jauah dan dengan zoom yang pas2an (35mm). hasil jempretannya saya seperti ini (setelah dicropped agar objeknya lebih jelas). 



Wednesday, June 17, 2009

inikah kebenarannya? Aceh dan JK

Lupakan sejenak Anda memilih siapa. Baca saja dulu.
Tiga Hari Penuh Badai, JK!

Majalah Tempo, Edisi Khusus Akhir Tahun, 26 Desember 2005, halaman 32

Tiga Hari Penuh Badai

Inilah kisah di pusat kekuasaan selama tiga hari pertama setelah tsunami. Mengenang setahun tragedi itu, beberapa sumber termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla serta Menteri Komunikasi dan Informasi Sofjan Djalil menuturkan kenang-kenangan mereka kepada Tempo.
****

Baru duduk di jok mobilnya, telepon seluler Jusuf Kalla berdering-dering. Staf pribadinya melaporkan: “Pak, di Aceh ada tsunami. Dahsyat sekali.” Pagi itu, 26 Desember 2004, Kalla hendak menghadiri halal bihalal warga Aceh di Senayan, Jakarta. Kalla lalu mengirim pesan pendek ke telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang pagi itu berada nun jauh di Nabire, Papua. Presiden menemui korban gempa yang melumat Nabire sehari sebelumnya.

Presiden membalas: “Saya sudah dengar. Tolong koordinasikan.” Kalla lalu menelepon Azwar Abubakar, Wakil Gubernur Provinsi Aceh. Gubernur Abdullah Puteh saat itu telah ditahan di penjara Salemba karena dugaan kasus korupsi.

Kalla juga mengontak Kapten Didit Soerjadi, pilot pesawat pribadinya. Didit sedang beristirahat. “Kau segera mandi dan berangkat ke Aceh,” perintah Kalla. Semuanya serba buru-buru. Perintah terus mengalir saat Didit mandi. “Lucu juga, saya mandi sambil terima telepon Pak Wapres,” kenang sang pilot. Wapres menggegas semua stafnya menelepon semua pejabat di Aceh. Sial, tak satu pun menyahut. Kalla mulai cemas.

Di Aceh, dunia berhenti pagi itu. Bumi berguncang dengan kekuatan 8,6 pada skala Richter, air laut tumpah ke daratan. Beberapa keluarga sempat mengabarkan soal air bah kepada kerabat di Jakarta. Cuma sebentar. Lalu telepon putus total.

Halal bihalal warga Aceh di Senayan dibuka pada pukul sembilan lebih, berlangsung dalam suasana tegang sekali. Berita tsunami sudah menyebar. Banyak yang sibuk menelepon. Beberapa orang berlinang air mata. Ada yang histeris, gusar kian-kemari. Kalla berpidato sekenanya. Hampir tak ada yang mendengar. “Orang-orang ingin acara itu cepat kelar,” tutur Kalla kepada Tempo. Turun panggung, Kalla menggelar rapat mendadak di situ.

Dia memerintahkan Sofjan Djalil memimpin rombongan pertama ke Aceh. “Pakai pesawat saya saja,” kata Wapres. Anggota rombongan 30 orang, antara lain Menteri Perumahan Rakyat Yusuf Azhari, Azwar Abubakar, dan beberapa tetua Aceh. Kalla membekali Sofyan uang Rp 200 juta dan sebuah telepon satelit. “Begitu kau tiba di Aceh, langsung telepon saya,” perintahnya. Mereka menjadi rombongan pertama pemerintah yang terbang ke Aceh di hari pertama tsunami.

Pesawat berputar dua kali di langit Banda Aceh. “Dari udara Aceh terlihat hancur total,” tutur Kapten Didit. Menara bandara retak. Tak satu pun petugas di menara. Untung, pesawat mulus mendarat, sekitar pukul enam sore.

Anggota rombongan membeli beras dan mi instan di beberapa toko dekat bandara, lalu beranjak ke pendapa kantor gubernur sekitar pukul tujuh malam. Jalanan sunyi senyap. Gelap gulita. Satu-satunya penerangan cuma lampu mobil. Sungguh mengerikan. Mayat bergelimpangan di jalan, di kolong rumah, tersangkut di dahan pohon. Beberapa ekor anjing berlari ke sana kemari. Anggota rombongan mulai menangis sesenggukan.

Malam itu ratusan orang menumpuk di pendapa kantor gubernur. Banyak yang luka parah. Puluhan mayat dijejerkan di latar depan pendapa. Aceh lumpuh total. Koordinasi tak jalan karena aparat pemerintah pusing mencari sanak keluarga. Kepala Polres Banda Aceh hanyut ditelan tsunami.

Azwar Abubakar, Wakil Gubernur Aceh, bisa memimpin. Namun, dia sedang galau. Rumahnya di Blang Padang hancur. Ia tak tahu nasib anak-anaknya. Wakil Gubernur ini pulang ke rumahnya ditemani Sofjan Djalil, Jusuf Azhari dikawal dua tentara. Mobil melaju dalam gelap, menghindari mayat-mayat yang direbahkan di kiri-kanan jalan. Mobil berhenti kira-kira 50 meter dari rumah Azwar sebab sampah menggunung menutup jalan.

Wakil Gubernur turun ditemani seorang tentara. Dipandu nyala senter, mereka mengendap-endap. Sofjan menunggu dengan cemas. Setengah jam berlalu, Azwar pulang. “Di rumah banyak mayat, tapi anak-anakku tak kelihatan,” katanya penuh kecemasan. Mereka lalu balik ke pendapa.

Berkali-kali Sofjan menelepon Jusuf Kalla di Jakarta. Tak bersahut. Di Jakarta, Wapres menggelar sidang kabinet darurat di rumah dinas Jalan Diponegoro pada pukul 21.30 WIB. Sembilan menteri dan Panglima TNI hadir. Sembari rapat, Kalla berkali-kali pula mengontak Sofjan. Tak bersambung juga. “Sofjan itu bawa telepon satelit kok tidak sambung-sambung,” kata Kalla.

Di Aceh, Sofjan memutuskan mengirim kabar lewat Orari Angkatan Udara di Aceh. Orari Jakarta meneruskan pesan itu ke telepon seluler Jusuf Kalla. Ini laporan pertama Sofjan dari wilayah bencana: ”Pak, korban sekitar 5.000 hingga 6.000.” “Astagfirullah, astagfirullah,” kata Kalla berkali-kali sembari mengusap wajah. Sejumlah menteri tertunduk. Hening menyapu ruang rapat.

Kalla melanjutkan pesan ke Presiden Yudhoyono yang malam itu sudah tiba di Jayapura. Presiden menyampaikan belasungkawa kepada korban bencana. Besoknya, Presiden terbang menuju Aceh.

Pukul sepuluh malam, telepon satelit Sofjan sukses menembus Jakarta. “Eh, ini Sofjan,” ujar Kalla kegirangan. “Apa yang terjadi? Kenapa kau tak telepon-telepon?” tanya Kalla dengan suara keras. “Saya stres, Pak. Di sini gelap sekali,” sahut Sofjan dari seberang. “Besok aku susul ke sana,” ujar Kalla. Percakapan ditutup.

Malam itu Kalla mematangkan persiapan ke Aceh. “Saya minta Anda menyediakan dana sepuluh miliar uang kontan,” perintah Kalla kepada Menteri Keuangan Jusuf Anwar. Jusuf tertegun. “Pak, kalau segitu tak ada,” jawabnya. “Saya tidak mau tahu. Itu urusanmu,” kata Kalla. Rapat bubar larut malam.

Di larut malam itu, pendapa kantor gubernur di Banda Aceh masih gaduh. Warga yang luka parah dirawat seadanya. Koordinasi sulit karena aparat sibuk mencari keluarga masing-masing. Kepala Polda Aceh Bahrumsyah datang ke pendapa dengan terengah-engah. Wajahnya letih. Si Kapolda cuma mengenakan pakaian dinas tanpa alas kaki alias nyeker. Orang hilir-mudik di pendapa membikin Sofjan bingung menjaga uang Rp 200 juta yang dia bawa dari Jakarta. Ia meminta seorang anggota DPRD dari Partai Keadilan Sejahtera menjaga uang itu. “Orangnya berjenggot. Uang pasti aman,” ujar Sofjan.

Sang Menteri lalu merebahkan badan di atas karpet. Belum lagi mata terpejam, terdengar pekikan, “Gempa! Gempa!” Orang-orang berlari. Sofjan ikut kabur. Setelah bergoyang beberapa menit, bumi kembali tenang. Warga kembali ke pendapa. Tak berapa lama, teriakan gempa terdengar lagi. Semua berhamburan, termasuk Pak Menteri. Malam itu gempa datang berkali-kali. Lama-lama, Sofjan putus urat takutnya. Saat orang-orang kabur, ia terlelap. “Sudah jam dua pagi, masak lari-lari terus. Saya lelah sekali,” kenangnya. Besoknya, orang ramai menggunjingkan kehebatan nyali Pak Menteri.

*****

Hari kedua, 27 Desember. Entah bagaimana caranya, Menteri Keuangan berhasil menyediakan uang kontan pagi itu. Jumlah Rp 6 miliar. Menjelang siang, Kalla terbang ke Aceh membawa serta uang satu peti. Petang hari, Presiden Yudhoyono mendarat di Lhokseumawe. Wajahnya sedih. “Tadi pagi saya meninjau Nabire. Sore ini saya di Lhokseumawe menemui saudara-saudara yang tertimpa musibah lebih besar lagi,” katanya.

Setibanya di Banda Aceh, Kalla memerintahkan stafnya memborong beras, mi instan, dan aneka makanan lain. Karena berasnya kurang, Kalla bertanya, “Eh, berasnya sedikit sekali. Mana beras dari Dolog?” Seseorang menjawab, pintu Dolog digembok. Si pemegang kunci tak diketahui rimbanya. Wakil Presiden menyergah dalam nada tinggi “Buka! Kalau tak bisa, tembak gerendelnya. Apa perlu tanda tangan Wapres untuk buka pintu Dolog?” Suasana tegang. Beberapa polisi bergegas membidik gembok. Beras pun mengalir.

Rombongan Kalla berlalu ke pendapa kantor gubernur. Di Lambaro, mereka menyaksikan ratusan mayat berjejer di depan toko. “Masya Allah,” ucap Kalla. Badannya lemas. Di pendapa ia menggelar rapat, lalu keliling kota bersama Mar’ie Muhammad, Ketua Palang Merah Indonesia, yang datang sehari sebelumnya. Kota itu lautan mayat.

Mayat-mayat harus segera dikubur karena bau busuk menikam hidung. Untung, ada seorang ustad. Kalla minta ustad itu mendoakan tumpukan jenazah sebelum dikuburkan. Tapi siapa yang menjamin sahnya pemakaman? “Saya jamin,” kata Kalla. Ia mencorat-coret di atas kertas, lalu membubuhkan parafnya. “Tolong keluarkan ayat yang pantas-pantas saja,” pintanya kepada ustad.

Sore hari Kalla terbang dengan helikopter ke Lhok Nga untuk menjatuhkan mi instan dari udara. Helikopter itu tak punya sabuk pengaman. Setiap pesawat memutar, tubuh Kalla serong ke kiri, serong ke kanan. Rombongan Kalla terbang ke Medan pukul tujuh malam. Sofjan Djalil yang sudah dua hari di Banda Aceh minta ikut pulang. “Baru dua hari sudah minta pulang. Kau tetap di sini,” jawab Kalla. Malam itu Sofjan pusing tujuh keliling menjaga uang satu peti yang dibawa Kalla. Takut uang itu dicolong, Menteri Sofjan dan kawan-kawannya tidur mengitari peti itu.

*****

Hari ketiga, 28 Desember. Presiden Yuhdoyono terbang dari Lhokseumawe menuju Banda Aceh. Kalla yang sudah berada di Medan mendapat kabar Meulaboh rata tanah. Ia memerintahkan stafnya mencari pesawat ke Meulaboh. Dapat pesawat Angkatan Udara. Dari udara, Meulaboh tampak seperti tanah gusuran. “Astagfirullah,” ucap Kalla berkali-kali.

Kalla meminta pilot terbang lebih rendah. Pilot mengangguk. Kalla minta lebih rendah lagi. Kali ini pilot bilang, “Tak bisa, Pak. Bahaya.” “Kau ini orang mana?” tanya Kalla. “Saya orang Makassar, Pak,” jawab si pilot. “Ah, orang Makassar kok penakut,” sergah Kalla. Pilot mengalah, pesawat melayang cuma beberapa meter di atas pucuk kelapa. Untung saja arahnya ke laut.

Setelah berkali-kali memutar di atas Meulaboh, pesawat kembali ke Medan. Kalla langsung rapat dengan Gubernur Sumatera Utara Rizal Nurdin—kini sudah almarhum. Dia memerintahkan Gubernur mengirim makanan ke Meulaboh. Keduanya sempat bersoal-jawab.

+ “Bagaimana caranya, Pak?” tanya Gubernur.
- “Lewat udara, buang dari pesawat,” jawab Kalla.
+ “Kalau dibuang nanti pecah, Pak.”
- “Tidak apa-apa, toh sampai di perut pecah juga.”
+ “Ya, tapi nanti basah Pak.”
- “Bungkus saja pakai plastik.”
+ “Pak, nanti jatuh ke GAM,” Gubernur berusaha menjelaskan.
- “ Tidak apa-apa. GAM juga manusia. Perlu makan,” nada Kalla mulai meninggi.
Beberapa orang membisiki Gubernur supaya jangan membantah.
+ “Jadi, bagaimana, bisa atau tidak?” tanya Kalla.
- “Siap, Pak,” jawab Gubernur.

Pesawat pemasok makanan melayang ke Meulaboh. Presiden dan Wakil Presiden kembali ke Jakarta pada hari ketiga.

Lalu, bantuan kemanusiaan mulai mengalir dari segenap penjuru dunia….

Tuesday, June 2, 2009

emang nyaman hidup di Indonesia

kalimat itu saya kutip dari kalimat terakhir seorang senior sekaligus dosen saya. beliau sedang berada di jerman, pindah dari jogja sejak tahun 2007 karena mendapat panggilan untuk studi S3. karena mengambil objek studi yang sama dengan apa yang saya kerjakan di riau, kami kerap berkirim email-lewat facebook. terakhir aku tanyakan tentang anaknya, rafi, yang saya tahu, sangat senang mancing. dan ini jawaban senior saya itu:
"Rafi kemarin barusan mancing tapi ikan kertas :) 
kebetulan ada KIndertag,hari anak. 
disini mancing harus pakai licence :( 
emang nyaman hidup di Indonesia"

saya terharu membaca kalimat terakhirnya. pikiran saya melayang ke beberapa tahun silam saat melihat ibu homestay saya menghabiskan berpuluh-puluh dollar membeli bibit bunga yang saya tahu persis tetangga sebelah juga punya tanamannya. kenapa tidak minta saja ke tetangga? klo ibu saya pasti sudah dari kemarin-kemarin tukar-tukaran bibit bunga sama tetangganya. sungguh saya tidak habis pikir, sekaku ini kah para ibu-ibu di kompleks di negara itu? 

terkadang saya merasa jengah mendengar keluhan bernada sinis tentang indonesia, yang ternyata lebih sering saya dengar keluar dari mulut warganya (termasuk saya sendiri) . semrawut lah, gak beraturan lah, petugasnya gak ada yang benar lah, pemerintah gak becus, dll.

ok, di negeri ini memang masih ada petugas yang nerima uang saat razia di jalan-jalan. itu kenyataan dan memang memalukan. 

dan saya memang selalu ngeri setiap kali melihat jakarta yang sedang macet, hujan, air selokan berlimpahan ke jalan, suara2 klakson dan asap kendaraan yang mengepul. hiiii.. benar-benar gak berbentuk. 

tapi di negeri ini saya bisa menikmati ngobrol dengan tukang ojeg yang bercerita tentang banjir, tentang demo mahasiswa, tentang harga sembako yang terus saja naik meski harga bbm sudah turun, tentang jalan-jalan mana saja yang sering macet saat peak hour. dan hal-hal kecil lainnya yang simply, sangat berbau kehidupan. 

saya juga menikmati nongkrong di warung kaki lima, merindukan angkringan depan kampus tempat saya makan pisang goreng pake sambel pedess sambil baca komik . 

dan saya terhanyut dalam suka cita saat pertama kali menemukan jejak kaki harimau, jejak kaki gajah, jejak kaki tapir, mendengar suara nyanyian ungko.., satwa-satwa yang sebelumnya hanya bisa saya lihat dalam tayangan national geography. 

yang tidak terlupa tentu spice eksotis yang selalu membuat rindu merana ketika sedang jauh: petai, kincung, dan daun kemangi.

hmm memang benar.., there's no place like home

if only love was that nice and easy

save the best for last - vanessa williams
Sometimes the snow comes down in June 
Sometimes the sun goes round the moon 
I see the passion in your eyes 
Sometimes it's all a big surprise  
Cause there was a time when all I did was wish You'd tell me this was love 
It's not the way I hoped or how I planned But somehow it's enough  
And now we're standing face-to-face Isn't this world a crazy place? 
Just when I thought our chance had passed 
You go and save the best for last  

All of the nights you came to me When some silly girl had set you free 
You wondered how you'd make it through I wondered what was wrong with you  
Cause how could you give your love to someone else And share your dreams with me 
Sometimes the very thing you're looking for Is the one thing you can't see  
But now we're standing face-to-face Isn't this world a crazy place? 
Just when I thought our chance had passed You go and save the best for last  
Sometimes the very thing you're looking for Is the one thing you can't see  

Sometimes the snow comes down in June 
Sometimes the sun goes round the moon 
Just when I thought our chance had passed 
You go and save the best for last  
You went and saved the best for last