Pages

Sunday, October 12, 2008

residence 8: eight miracles that means nothing

tanpa sengaja saya menonton satu iklan pemasaran sebuah apartemen mewah di jakarta. berlokasi di antara dua jalan utama jakarta: jalan sudirman dan jalan senopati raya, sudah tidak mungkin ini bukan apartemen mewah kan? satu persatu keunggulan dan fasilitas dari apartemen mewah ini ditampilkan. sungguh menawan dan luxurius! tayangan ini membuat saya tidak sempat berkedip. bahkan mereka juga punya internal tv channel dan layanan housekeeping! benar-benar seperti di hotel. dan tidak main-main, setara hotel bintang lima!ya, bayangkanlah tinggal di salah satu kamar suite hotel borubudur atau hotel nikko... seperti itulah rasanya. karena terlihat begitu fantastis, rasanya saya tidak sanggup membayangkan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk memiliki satu unit apartemen ini.

residence 8 berarti hunian dengan delapan keajaiban. satu dari 8 keajaiban yang ditawarkan oleh apartemen ini adalah akses yang mudah untuk ke mall-mall megah jakarta. sebut saja plaza senayan sampai ke senayan city yang entah cita-citanya menjadi mall terbesar di asia tenggara sudah tercapai atau belum. belum lagi akses langsung ke SCMB yang menjadi keajaiban 2, atau kids zone dan jogging track yang menjadi keajaiban-keajaiban berikutnya.

saya tidak mengerti, mengapa itu semua bisa disebut sebagai keajaiban?

kalau dengan berdirinya apartemen mewah itu lantas mengurangi jumlah anak putus sekolah di jakarta sebanyak 10%, itu baru saya akui sebagai sebuah keajaiban.

kalau saja akses-akses yang begitu mudah memungkinkan para penghuninya bisa dengan mudah membantu penduduk yang masih tinggal di kolong jembatan, itu baru saya akui sebagai keajaiban.

kalau saja lokasi apartemen yang begitu strategis lantas adalah cerminan tata ruang kota yang lebih baik dan seharusnya bagi sebuah ibukota bernama jakarta, saya pun akan mengakui, bahwa itu sebuah keajaiban.

iklan apartemen mewah ini selesai, di saluran tetangga menyusul liputan tentang seorang anak yang harus putus sekolah karena harus bekerja untuk kehidupan dirinya dan ibunya. anak dan ibu itu tinggal di jakarta, di daerah manggarai. setiap hari sang anak pergi mencari besi-besi tua untuk dijual. salah satu besi tua dalam bentuk sepeda onthel digunakannya untuk mengantar besi-besi yang berhasil dikumpulkannya untuk kemudian dijual ke pengumpul besi. sudah tidak terhitung berapa km yang telah ditempuhnya untuk sekedar mendapatkan uang 15-20 ribu rupiah setiap hari.

di atas sana, di dalam sebuah unit sebut saja di lantai 17, ada manusia yang menikmati segala kemewahan dunia yang manusia bisa ciptakan.
dibawahnya, seorang anak lelaki dekil yang bermimpi menjadi pengusaha untuk kehidupan lebih baik bagi keluarga kecilnya, masih menantang teriknya matahari, mengayuh sepedanya menuju tempat pengumpul besi.
mereka adalah manusia yang tinggal di bawah langit yang sama, langit jakarta.
tapi kondisi kehidupan mereka, seperti langit dan bumi.

inilah keajaiban yang sesungguhnya.

the meaning of saturday

hari sabtu adalah hari yang selalu menjadi favorit saya, bahkan sejak masa kuliah di jogja dulu. saking favoritnya sama hari sabtu ini, saya rela menunggu lebih lama untuk sebuah kelulusan karena saya tidak mengambil mata kuliah/praktikum apapun yang ditawarkan di hari sabtu. karena saya beranggapan, hari sabtu adalah hari pribadi. kadang ada mata kuliah yang saya harus ambil jika ingin bisa praktikum pada semester berikutnya, tapi tetap saya tidak saya masukkan dalam krs saya, meskipun akibatnya saya tidak bisa ikut praktikum dengan teman-teman seangkatan saya dan harus menunggu tahun berikutnya. ya, saya memang geblek dengan pikiran konyol saya. tapi saya tidak menyesal, saya sungguh menikmati setiap hari sabtu yang saya lewati.

bagi sebagian teman-teman kos saya di swakarya 6, sabtu adalah hari khusus untuk mempercantik diri, alasannya jelas, malam harinya adalah waktu untuk berkencan dengan sang pacar. tentu saja hal ini berlaku bagi yang punya pacar saja. sedangkan yang masih jomblo biasanya memilih untuk mudik ke rumah, dengan target utama: uang saku direfill. kalau saya? sabtu adalah waktunya untuk baca komik-komik lucu yang banyak dan malamnya tidur panjang dengan nikmat. yah, sabtu bagi saya adalah hari baca komik dan tidur dengan puas.

sekarang saat status sudah berubah dari mahasiswa ke pekerja, sabtu tetap menjadi idola. biasanya hari jumat tidak akan saya sia-siakan untuk menuntaskan pekerjaan yang telah saya mulai har-hari sebelumnya, kecuali memang tidak memungkinkan untuk selesai. makanya saya merasa saya mempunyai energi+konsentrasi penuh di hari jumat. sehingga hari sabtunya dapat saya nikmati sesuai keinginan saya.

bagaimana dengan hari minggu? meskipun tidak menjadi the most favorite day in the week, hari minggu cukup menyenangkan karena film-film kartun bertebaran diseantero tv program. kegemaran saya membaca komik terpaksa puasa sejenak karena saya belum menemukan tempat persewaan komik di kota ini.

walaupun ada film-film kartun yang cukup menghibur, ntah kenapa hari minggu ini tidak lantas ikut menjadi hari favorit saya. mungkin karena hari minggu bagi saya selalu berlalu dengan cepat.., sampai kadang saya berharap ada satu hari lagi diantara hari minggu dan hari senin. mungkin saya saja yang ingin berleha-leha lebih baik. atau mungkin saya terlalu ketakutan pada hari senin yang selalu bisa mengintip dengan garang di hari minggu? ntah lah. yang jelas bagiku, hari sabtu memang numero uno! :-)

Friday, October 10, 2008

Jluntrungan Krisis Subprime di Amerika Serikat

Aku suka sekali! Jadi ngerti deh tentang krisis di negara sok berkuasa itu. Terima kasih ya pak Dahlan Iskan atas tulisannya. Ternyata manusia itu dimana-mana sama, sama-sama greedinya!!


Kalau Langit Masih Kurang Tinggi*
Oleh: Dahlan Iskan*

Meski saya bukan ekonom, banyak pembaca tetap minta saya ''menceritakan'' secara awam mengenai hebatnya krisis keuangan di AS saat ini. Seperti juga, banyak pembaca tetap bertanya tentang sakit liver, meski mereka tahu saya bukan dokter. Saya coba:
Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus berkembang di semua sektor. Terutama labanya. Kalau bisa, laba sebuah perusahaan publik terus meningkat sampai 20 persen setiap tahun. Soal caranya bagaimana, itu urusan kiat para CEO dan direkturnya.

Pemilik perusahaan itu (para pemilik saham) biasanya sudah tidak mau tahu lagi apa dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan. Yang mereka mau tahu adalah dua hal yang terpenting saja: harga sahamnya harus terus naik dan labanya harus terus meningkat.

Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau ratusan ribu orang, sehingga mereka tidak peduli lagi dengan tetek-bengek perusahaan mereka. Mengapa mereka menginginkan harga saham harus terus naik? Agar kalau para pemilik saham itu ingin menjual saham, bisa dapat harga lebih tinggi dibanding waktu mereka beli dulu: untung.

Mengapa laba juga harus terus naik? Agar, kalau mereka tidak ingin jual saham, setiap tahun mereka bisa dapat pembagian laba (dividen) yang kian banyak. Soal cara bagaimana agar keinginan dua hal itu bisa terlaksana dengan baik, terserah pada CEO-nya. Mau pakai cara kucing hitam atau cara kucing putih, terserah saja. Sudah ada hukum yang mengawasi cara kerja para CEO tersebut: hukum perusahaan, hukum pasar modal, hukum pajak, hukum perburuhan, dan seterusnya.

Apakah para CEO yang harus selalu memikirkan dua hal itu merasa ertekan dan stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang bisa untung, tapi kadang bisa rugi? Anehnya, para CEO belum tentu merasa terus-menerus diuber target. Tanpa disuruh pun para CEO sendiri memang juga menginginkannya. Mengapa? Pertama, agar dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO. Kedua, agar dia mendapat bonus superbesar yang biasanya dihitung sekian persen dari laba dan pertumbuhan yang dicapai. Gaji dan bonus yang diterima para CEO perusahaan besar di AS bisa 100 kali lebih besar dari gaji Presiden George Bush. Mana bisa dengan gaji sebesar itu masih stres?

Keinginan pemegang saham dan keinginan para CEO dengan demikian seperti tumbu ketemu tutup: klop. Maka, semua perusahaan dipaksa untuk terus-menerus berkembang dan membesar. *Kalau tidak ada jalan, harus dicarikan jalan lain. Kalau jalan lain tidak ditemukan, bikin jalan baru. Kalau bikin jalan baru ternyata sulit, ambil saja jalannya orang lain. Kalau tidak boleh diambil? Beli! Kalau tidak dijual? Beli dengan cara yang licik -dan kasar! Istilah populernya hostile take over.*

Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk bikinkan berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapat jalan. Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang happy. CEO dan para direkturnya happy karena dapat bonus yang mencapai Rp 500 miliar setahun. Para pemilik saham juga happy karena kekayaannya terus naik. Pemerintah happy karena penerimaan pajak yang terus membesar. Politisi happy karena dapat dukungan atau sumber dana.

Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dan kesejahteraan rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli kebutuhan hidupnya. Kulkas, TV, mobil, dan rumah laku dengan kerasnya. Semakin banyak yang bisa membeli barang, ekonomi semakin maju lagi.

Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Barang apa saja. Kalau tidak bisa bikin sendiri, datangkan saja dari Tiongkok atau Indonesia atau negara lainnya. Itulah yang membuat Tiongkok bisa menjual barang apa saja ke AS yang bisa membuat Tiongkok punya cadangan devisa terbesar di dunia: USD 2 triliun!

Sudah lebih dari 60 tahun cara ''membesarkan'' perusahaan seperti itu dilakukan di AS dengan suksesnya. Itulah bagian dari ekonomi kapitalis. AS dengan kemakmuran dan kekuatan ekonominya lalu menjadi penguasa dunia.

Tapi, itu belum cukup.

Yang makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet otomatis dianggap tidak cukup lagi: harus computerized!

Bonus yang sudah amat besar masih kurang besar. Laba yang terus meningkat harus terus mengejar langit. Ukuran perusahaan yang sudah sebesar gajah harus dibikin lebih jumbo. Langit, gajah, jumbo juga belum cukup.

Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi perusahaan yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus meningkat, dicarilah jalan agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan dalam jumlah yang kian banyak. Kalau orangnya sudah punya rumah, harus diciptakan agar kucing atau anjingnya juga punya rumah. Demikian juga mobilnya.*

Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya rumah, siapa pula yang akan beli rumah?*

Kalau tidak ada lagi yang beli rumah, bagaimana perusahaan bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan alat-alat bangunan bisa lebih besar? Bagaimana bank bisa lebih besar? Bagaimana notaris bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjual kloset bisa lebih besar? Padahal, doktrinnya, semua perusahaan harus semakin besar?

Ada jalan baru. Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu. *Pada 1980, pemerintah bikin keputusan yang disebut ''Deregulasi Kontrol Moneter''.* Intinya, dalam hal kredit rumah, perusahaan realestat diperbolehkan menggunakan variabel bunga. Maksudnya: boleh mengenakan bunga tambahan dari bunga yang sudah ditetapkan secara pasti. Peraturan baru itu berlaku dua tahun kemudian.

Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan, asuransi, broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang dimanfaatkan perbankan secara nyata.

Begini ceritanya:*

Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam undang-undang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan memenuhi syarat tertentu, bisa mendapat mortgage (anggap saja seperti KPR, meski tidak sama).*

Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh ambil mortgage untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan bulanannya ringan karena mortgage itu berjangka 30 tahun dengan bunga 6 persen setahun.

Negara-negara maju, termasuk Singapura, umumnya punya UU Mortgage. Yang terbaru adalah UU Mortgage di Dubai. Sejak itu, penjualan properti di Dubai naik 55 persen. UU Mortgage tersebut sangat ketat dalam menetapkan syarat orang yang bisa mendapat mortgage.

Dengan keluarnya ''jalan baru'' pada 1980 itu, terbuka peluang untuk menaikkan bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup. Bank bisa dapat peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif. Juga para broker dan bisnis lain yang terkait.

Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan. Maka, ada lagi ''jalan baru'' yang dibuat pemerintah enam tahun kemudian.. Yakni, tahun 1986.*

Pada 1986 itu, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya: pembeli rumah diberi keringanan pajak.* Keringanan itu juga berlaku bagi pembelian rumah satu lagi. Artinya, meski sudah punya rumah, kalau mau beli rumah satu lagi, masih bisa dimasukkan dalam fasilitas itu.*

Di negara-negara maju, sebuah keringanan pajak mendapat sambutan yang luar biasa.* Di sana pajak memang sangat tinggi. Bahkan, seperti di Swedia atau Denmark, gaji seseorang dipajaki sampai 50 persen. Imbalannya, semua keperluan hidup seperti sekolah dan pengobatan gratis. Hari tua juga terjamin.

Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastis menjelang 1990. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya. Kredit yang disebut mortgage yang biasanya hanya USD 150 miliar setahun langsung menjadi dua kali lipat pada tahun berikutnya. Tahun-tahun berikutnya terus meningkat lagi. Pada 2004 mencapai hampir USD 700 miliar setahun.*

Kata ''mortgage'' berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis. Artinya: matinya sebuah ikrar.* Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam mortgage, Anda mendapat kredit. Lalu, Anda memiliki rumah. Rumah itu Anda serahkan kepada pihak yang memberi kredit. Anda boleh menempatinya selama cicilan Anda belum lunas.

Karena rumah itu bukan milik Anda, begitu pembayaran mortgage macet, rumah itu otomatis tidak bisa Anda tempati. Sejak awal ada ikrar bahwa itu bukan rumah Anda. Atau belum. Maka, ketika Anda tidak membayar cicilan, ikrar itu dianggap mati. Dengan demikian, Anda harus langsung pergi dari rumah tersebut.*

Lalu, apa hubungannya dengan bangkrutnya investment banking seperti Lehman Brothers?*

Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya karena fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh ''para pelaku bisnis keuangan'' sebagai peluang untuk membesarkan perusahaan dan meningkatkan laba.

Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas mortgage. Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli rumah. Harga rumah dan tanah naik terus melebihi bunga bank.

Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para pemilik rumah. Yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage-kan lagi untuk membeli rumah berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli rumah pun bisa mendapatkan kredit dengan harapan toh harga rumahnya terus naik. Kalau toh suatu saat ada yang tidak bisa bayar, bank masih untung. Jadi, tidak ada kata takut dalam memberi kredit rumah.

Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam undang-undang perbankan yang keras.*

Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan.*

Jalan baru itu adalah ini: bank bisa bekerja sama dengan ''bank jenis lain'' yang disebut investment banking.*

Apakah investment banking itu bank?*

Bukan. Ia perusahaan keuangan yang ''hanya mirip'' bank. Ia lebih bebas daripada bank. Ia tidak terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak hal: menerima macam-macam ''deposito'' dari para pemilik uang, meminjamkan uang, meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin, membeli rumah, menjual rumah, private placeman, dan apa pun yang orang bisa lakukan. Bahkan, bisa melakukan apa yang orang tidak pernah memikirkan! Lehman Brothers, Bear Stern, dan banyak lagi adalah jenis investment banking itu.

Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi pinjaman tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan dan menjualnya kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam kepada siapa saja: kepada bank lain atau kepada sesama investment banking. Atau, juga kepada orang-orang kaya yang punya banyak uang dengan istilah ''personal banking''.

Saya sering kedatangan orang dari investment banking seperti itu yang menawarkan banyak fasilitas. Kalau saya mau menempatkan dana di sana, saya dapat bunga lebih baik dengan hitungan yang rumit. Biasanya saya tidak sanggup mengikuti hitung-hitungan yang canggih itu.

Saya orang yang berpikiran sederhana. Biasanya tamu-tamu seperti itu saya serahkan ke Dirut Jawa Pos Wenny Ratna Dewi. Yang kalau menghitung angka lebih cepat dari kalkulator. Kini saya tahu, pada dasarnya dia tidak menawarkan fasilitas, tapi cari pinjaman untuk memutar cash-flow.

Begitu agresifnya para investment banking itu, sehingga kalau dulu hanya orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage, yang kurang memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage.

Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang. Orang yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas. Setiap tahun orang bisa memperkirakan sendiri, ratingnya naik atau turun.

Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewat mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa dengan terus bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan penghematan pengeluaran.

Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian tinggi, pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari mortgage. Toh kalau gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah disita, bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai pinjaman. Tidak pernah dipikirkan jangka panjangnya.

Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang. Dalam waktu kurang dari 10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang disita sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak orang yang jual rumah, kian turun harganya. Kian turun harga, berarti nilai jaminan rumah itu kian tidak cocok dengan nilai pinjaman. Itu berarti kian banyak yang gagal bayar.*

Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula menjaminkan rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang lain. Yang lain itu menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi itu menjaminkan ke yang beriktunya lagi. Satu ambruk, membuat yang lain ambruk. Seperti kartu domino yang didirikan berjajar. Satu roboh menimpa kartu lain. Roboh semua.*

Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu? Belum ada data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai 5 triliun dolar. Jadi, kalau Presiden Bush merencanakan menyuntik dana APBN USD 700 miliar, memang perlu dipertanyakan: kalau ternyata dana itu tidak menyelesaikan masalah, apa harus menambah USD 700 miliar lagi? Lalu, USD 700 miliar lagi?

Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sekarang, sehingga belum mau menyetujui rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan sebanyak USD 700 miliar itu sudah sama dengan pendapatan seluruh bangsa dan negara Indonesia dijadikan satu.

Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan rakyat AS. *Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan orang Indonesia yang ''menabung''-kan uangnya di lembaga-lembaga investment banking yang kini lagi pada kesulitan itu.*

Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya tidak banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya pada Singapura, Hongkong, atau Tiongkok.

Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi salah satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia. Sedangkan Tiongkok akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun, yang berarti banyak barang buatan Tiongkok yang tidak bisa dikirim secara besar-besaran ke sana. Kita, setidaknya, masih bisa menanam jagung.(*)*

Sumber: Jawa Pos - Minggu, 28 September 2008*