fajri, teman yang aku kenal ketika aku terdampar di stasiun jatinegara, berasal dari riau, sekolah di universitas islam jakarta, angkatan tahun 2004. sebenarnya aku sangsi, tapi dia tetap mengatakan kalau dia dari riau daratan, tepatnya pekanbaru. kalau sudah begini, aku juga tidak mungkin ngotot kalau dia, mungkin, berasal dari suatu daerah pedalaman di riau (sebenarnya lebih seru ajah ketemu orang yang rumahnya benar-benar berbatasan dengan hutan).
ok, dia memang belum pernah dengar tentang taman nasional tesso nilo, yang ditunjuk sebagai kawasan konservasi melalui sk menteri kehutanan tahun 2004, tapi dia tahu kabupaten indragiri hulu dan kabupaten pelalawan, yang membagi wilayah administrasinya untuk kawasan hutan tesso nilo yang disebut sebagai last remaining lowland tropical rain forest.
tadinya aku pikir wah anak ini payah juga karena tampaknya tidak mengerti hutan di daerahnya sendiri, malah menanyakan apakah aku masih punya stiker gambar harimau sumatera seperti yang menempel di laptopku..
tapi keesokan harinya, setelah kamarnya semalaman penuh dikorbannya untukku, dia mulai bercerita tentang hutan di riau, yang semakin hilang. "riau memang masih terlihat hijau tapi hijaunya kelapa sawit bukan dari pohon-pohon di hutan" langsung aku menyetujuinya karena pengalamanku selama berada 2 bulan disana memang seperti itu. keluar dari kota pekanbaru, kemanapun arah mata memandang, yang tampak adalah sawit. kuceritakan betapa sedih dan mirisnya aku ketika masuk ke dalam taman nasional tesso nilo yang banyak tinggal semak belukar, sementara dikejauhan bunyi chainsaw terdengar.. kadang jelas, kadang samar, tergantung arah angin yang mengantarkan bunyinya.
"aku pernah masuk penjara, 2 hari" katanya sambil tertawa kecil. "aku sering ikut demo menyangkut hutan di riau. kami anak riau punya perkumpulan, aku sekretarisnya. yang membuat hutan di riau hancur adalah pemerintah. ms kaban, menteri kehutanan itu, bukan dari kehutanan kan?" "memang bukan, dia menteri kehutanan yang tidak punya basic kehutanan, kalo ga salah dia dari pertanian, ekonomi pertanian" jawabku.
"waktu aku ikut pertemuan tentang hutan riau, ms kaban bilang gini "orang amerika itu mau buang sampah ke indonesia dengan biaya murah, makanya lebih baik pohon-pohon itu ditebang"
waktu itu aku gak mengerti maksudnya dengan membuang sampah ke indonesia, tapi kupikir sekarang mungkin yang dimaksud adalah emisi karbon hasil kegiatan industri amerika. cuma waktu itu aku menanggapi, "kok malah ngomong seperti itu sih? hutan yang rusak, pohon2 yang ditebang habis kan dampaknya ke masyarakat riau sendiri., kalau hutannya baguspun yang untung masyarakat". "itulah, makanya riau sekarang jadi panas banget". "iyah, memang panas" jawabku menyetujui.
fajri melanjutkan perkataannya, "di jakarta ini banyak anak riau, banyak banget. tapi mereka sudah tidak peduli dengan kampungnya. padahal mereka dapat fasilitas dari pemerintah daerah, bangunan bagus dan mereka tidak perlu keluar uang untuk bayar uang kos. waktu itu aku ikut musyawarah besar, disitu aku bilang,"kalian ini, jangan-jangan kalo kampung kalian sudah dijual, kalian pun tidak tahu!" aku mengangguk-angguk sambil tersenyum tipis, fajri tidak tahu betapa kalimat yang dilemparkannya kepada anak-anak riau yang dipikirnya sudah sangat hedon dan tidak lagi memikirkan tanah tempat kelahiran mereka, juga secara langsung membuatku merasa tubuhku diiris, cepat, dengan luka yang panjang.
ayahku adalah suku bugis (bone) dan ibuku berdarah campuran suku minangkabau (bukittinggi) dan suku sunda (kuningan), aku dan kedua saudaraku lahir dan besar di makassar (ujung pandang). meskipun sejak tahun 2003 aku sudah pindah dan secara resmi adalah penduduk kota jogjakarta, aku selalu menjawab dengan mantap bahwa aku aseli bugis-makassar. aku duduk dibangku ruang kuliah fakultas kehutanan ugm pun juga atas pencalonan dari sekolahku di makassar, sma 2, yup, aku ini lolos jaring ugm melalui benang pbud (pmdk), jadi, aku punya utang yang sama besarnya dengan anak-anak daerah yang kuliah di jogja dan menikmati fasilitas yang disediakan oleh pemerintah daerah masing-masing.
tapi, apakah aku sendiri pernah memikirkan bagaimana nantinya aku membayar utang itu? wah, aku bahkan beberapa kali sempat menyakinkan diriku kalau aku tidak akan balik ke makassar. hey? what a thought,?! telah menjadi apa aku ini dengan keyakinan seperti itu? aku menangis dalam hati, sekeras-kerasnya.. kusadari, jogja, apalagi jakarta, tidak akan membutuhkan 1 orang seperti aku. ada tempat yang lebih membutuhkan.., tanah tempat aku dilahirkan, tempat aku berpertualang gila campur nekat plus lugu dengan teman-teman smp, tempat dimana aku mendapat julukan kepiting rebus dan mak lampir dari teman-teman sma, tempat aku pernah menjadi sok wartawan proffesional dengan mewawancarai konsul muda jepang yang namanya sesuai dengan fisiknya (miss matsushiro = cemara putih) dan tinggal hanya ditemani seekor kucing dan seorang bibi.
sudah terlalu banyak orang-orang yang coba membangun pulau jawa ini, kalau berkurang 1 orang, tidak akan memberi pengaruh yang signifikan. ada banyak tempat di indonesia ini yang lebih membutuhkan, dan dengan suara yang hanya dapat didengarkan oleh nurani, memanggil anak-anaknya kembali untuk pulang dan membangun tanah kelahirannya sendiri.
salut dan hormatku pada teman seangkatanku, eni hidayati, yang kutahu sekarang adalah asisten dosen pada universitas sumba, -tanah sumbawa, tempat dimana dia berasal, telah memanggilnya pulang, dan eni, menjawabnya dengan baik.
ok, dia memang belum pernah dengar tentang taman nasional tesso nilo, yang ditunjuk sebagai kawasan konservasi melalui sk menteri kehutanan tahun 2004, tapi dia tahu kabupaten indragiri hulu dan kabupaten pelalawan, yang membagi wilayah administrasinya untuk kawasan hutan tesso nilo yang disebut sebagai last remaining lowland tropical rain forest.
tadinya aku pikir wah anak ini payah juga karena tampaknya tidak mengerti hutan di daerahnya sendiri, malah menanyakan apakah aku masih punya stiker gambar harimau sumatera seperti yang menempel di laptopku..
tapi keesokan harinya, setelah kamarnya semalaman penuh dikorbannya untukku, dia mulai bercerita tentang hutan di riau, yang semakin hilang. "riau memang masih terlihat hijau tapi hijaunya kelapa sawit bukan dari pohon-pohon di hutan" langsung aku menyetujuinya karena pengalamanku selama berada 2 bulan disana memang seperti itu. keluar dari kota pekanbaru, kemanapun arah mata memandang, yang tampak adalah sawit. kuceritakan betapa sedih dan mirisnya aku ketika masuk ke dalam taman nasional tesso nilo yang banyak tinggal semak belukar, sementara dikejauhan bunyi chainsaw terdengar.. kadang jelas, kadang samar, tergantung arah angin yang mengantarkan bunyinya.
"aku pernah masuk penjara, 2 hari" katanya sambil tertawa kecil. "aku sering ikut demo menyangkut hutan di riau. kami anak riau punya perkumpulan, aku sekretarisnya. yang membuat hutan di riau hancur adalah pemerintah. ms kaban, menteri kehutanan itu, bukan dari kehutanan kan?" "memang bukan, dia menteri kehutanan yang tidak punya basic kehutanan, kalo ga salah dia dari pertanian, ekonomi pertanian" jawabku.
"waktu aku ikut pertemuan tentang hutan riau, ms kaban bilang gini "orang amerika itu mau buang sampah ke indonesia dengan biaya murah, makanya lebih baik pohon-pohon itu ditebang"
waktu itu aku gak mengerti maksudnya dengan membuang sampah ke indonesia, tapi kupikir sekarang mungkin yang dimaksud adalah emisi karbon hasil kegiatan industri amerika. cuma waktu itu aku menanggapi, "kok malah ngomong seperti itu sih? hutan yang rusak, pohon2 yang ditebang habis kan dampaknya ke masyarakat riau sendiri., kalau hutannya baguspun yang untung masyarakat". "itulah, makanya riau sekarang jadi panas banget". "iyah, memang panas" jawabku menyetujui.
fajri melanjutkan perkataannya, "di jakarta ini banyak anak riau, banyak banget. tapi mereka sudah tidak peduli dengan kampungnya. padahal mereka dapat fasilitas dari pemerintah daerah, bangunan bagus dan mereka tidak perlu keluar uang untuk bayar uang kos. waktu itu aku ikut musyawarah besar, disitu aku bilang,"kalian ini, jangan-jangan kalo kampung kalian sudah dijual, kalian pun tidak tahu!" aku mengangguk-angguk sambil tersenyum tipis, fajri tidak tahu betapa kalimat yang dilemparkannya kepada anak-anak riau yang dipikirnya sudah sangat hedon dan tidak lagi memikirkan tanah tempat kelahiran mereka, juga secara langsung membuatku merasa tubuhku diiris, cepat, dengan luka yang panjang.
ayahku adalah suku bugis (bone) dan ibuku berdarah campuran suku minangkabau (bukittinggi) dan suku sunda (kuningan), aku dan kedua saudaraku lahir dan besar di makassar (ujung pandang). meskipun sejak tahun 2003 aku sudah pindah dan secara resmi adalah penduduk kota jogjakarta, aku selalu menjawab dengan mantap bahwa aku aseli bugis-makassar. aku duduk dibangku ruang kuliah fakultas kehutanan ugm pun juga atas pencalonan dari sekolahku di makassar, sma 2, yup, aku ini lolos jaring ugm melalui benang pbud (pmdk), jadi, aku punya utang yang sama besarnya dengan anak-anak daerah yang kuliah di jogja dan menikmati fasilitas yang disediakan oleh pemerintah daerah masing-masing.
tapi, apakah aku sendiri pernah memikirkan bagaimana nantinya aku membayar utang itu? wah, aku bahkan beberapa kali sempat menyakinkan diriku kalau aku tidak akan balik ke makassar. hey? what a thought,?! telah menjadi apa aku ini dengan keyakinan seperti itu? aku menangis dalam hati, sekeras-kerasnya.. kusadari, jogja, apalagi jakarta, tidak akan membutuhkan 1 orang seperti aku. ada tempat yang lebih membutuhkan.., tanah tempat aku dilahirkan, tempat aku berpertualang gila campur nekat plus lugu dengan teman-teman smp, tempat dimana aku mendapat julukan kepiting rebus dan mak lampir dari teman-teman sma, tempat aku pernah menjadi sok wartawan proffesional dengan mewawancarai konsul muda jepang yang namanya sesuai dengan fisiknya (miss matsushiro = cemara putih) dan tinggal hanya ditemani seekor kucing dan seorang bibi.
sudah terlalu banyak orang-orang yang coba membangun pulau jawa ini, kalau berkurang 1 orang, tidak akan memberi pengaruh yang signifikan. ada banyak tempat di indonesia ini yang lebih membutuhkan, dan dengan suara yang hanya dapat didengarkan oleh nurani, memanggil anak-anaknya kembali untuk pulang dan membangun tanah kelahirannya sendiri.
salut dan hormatku pada teman seangkatanku, eni hidayati, yang kutahu sekarang adalah asisten dosen pada universitas sumba, -tanah sumbawa, tempat dimana dia berasal, telah memanggilnya pulang, dan eni, menjawabnya dengan baik.
No comments:
Post a Comment